14
Nov
11

gara-gara monyet..

Hari ini bukan untuk yang pertama kalinya saya mendengar kabar mengenai demonstrasi oleh pihak tertentu untuk menentang topeng monyet. Hal tersebut bermula ketika sekelompok warga negara asing dari sebuah organisasi menggelar unjuk rasa di ibu kota beberapa waktu yang lalu. Bukan tidak beralasan mereka berdemonstrasi, mereka menganggap bahwa topeng monyet hanya merupakan salah satu modus yang digunakan untuk mengemis di jalanan, belum lagi cara yang digunakan dalam melatih monyet-monyet tersebut dinilai tidak baik dan dianggap sebagai penyiksaan binatang.

Topeng monyet memang bukan sebagian dari budaya, karena topeng monyet hanya sebuah kesenian tradisional yang terkenal di berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di beberapa negara seperti India, Pakistan, Thailand, Vietnam, China, Jepang, dan Korea topeng monyet banyak digemari oleh masyarakat. Topeng monyet menampilkan atraksi dari monyet yang didampingi oleh pawang dengan diiringi musik dari gendang kecil maupun radio tape, atraksi dari si monyet dinilai lucu oleh anak-anak, sehingga kumpulan anak-anak yang menonton atraksi topeng monyet menjadi keuntungan tersendiri bagi tukang topeng monyet.

Perdebatan mengenai larangan topeng monyet-pun semakin nampak, banyak yang pro tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Saya sendiri menilai unjuk rasa yang dilakukan oleh warga asing tersebut tidak sepenuhnya salah, karena maksud mereka juga sebenarnya baik, yaitu mencintai sesama makhluk tuhan terlebih monyet merupakan hewan yang dilindungi. Memang tidak seharusnya para tukang topeng monyet mempertontonkan atraksi topeng monyet di pinggir jalan, sebab hal tersebut dapat menghambat lalu lintas di ibu kota yang seringkali macet. Mungkin saja dengan kehadiran topeng monyet, lalu lintas semakin tidak terkendali sehingga kemacetan semakin meningkat. Namun akan lebih baik lagi apabila sesama pengguna jalan lebih tertib menggunakan jalan umum dan lebih mematuhi rambu lalu lintas.
Mengenai anggapan bahwa dalam pelatihan topeng monyet ada unsur penyiksaan binatang, mungkin lebih arif apabila para tukang topeng monyet mendapatkan ilmu atau pengetahuan mengenai cara melatih hewan dengan teknik yang baik dan dinilai tidak menyiksa dari pawang-pawang binatang yang sudah ahli. Sebab, mau tidak mau pemerintah tidak bisa begitu saja di paksa untuk menghentikan topeng monyet atau membuat larangan topeng monyet.

Topeng monyet yang sudah dikenal luas oleh masyarakat kita ini merupakan salah satu bentuk mata pencaharian bagi sebagian orang di Indonesia. mereka mungkin tidak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang tukang topeng monyet. Dalam sehari penghasilannya saja tidak tetap, jangankan untuk bermewah-mewah, untuk makan sehari-hari saja belum pasti. Terlebih biasanya monyet-monyet yang digunakan para tukang topeng monyet adalah monyet sewaan, jadi mereka juga harus menyetor uang yang mereka peroleh kepada pemilik monyet.
Manusia mana yang ingin hidup serba kekurangan, begitu pula para tukang topeng monyet. Keadaan yang menuntut mereka jadi tukang topeng monyet. Jika topeng monyet dilarang, mereka mau kerja apalagi? bukankah di Indonesia ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak? jangankan layak, yang tidak layak asal halal saja masih susah..
Sebaiknya perbaiki dulu urusan ketenaga kerjaan di negara kita ini, baru memikirkan persoalan lain termasuk penyiksaan binatang.

31
Jan
09

menilik fatwa MUI…

kawan,,,

baru-baru ini kita dengar adanya beberapa kebijakan dari MUI tentang haramnya merokok dan golput…

bukan menjadi soal mengenai larangan merokok ditempat umum,
karena hal tersebut jelas sangat merugikan, baik bagi orang lain maupun diri sendiri…

namun…. golput_?????

pilih memilih adalah hak setiap warga negara untuk menentukan pilihan kepada siapa ia akan mempercayakan negara ini untuk dipimpin..
dan pilihan untuk golput menurut saya merupakan hak setiap warga negara juga..

dengan kata lain, golput adalah hak asasi setiap manusia untuk menentukan apakah ia ingin memilih atau tidak…
jadi sebaiknya daripada kita mendzalimi diri sendiri dengan berpura-pura memilih yang bukan pilihan kita…
lebih baik kita DIAM !!!!!

16
Jan
09

Badan pembodoHan Pendidikan (BHP)

bhp

NO Comment for this situation…

Yang pasti bangsa kita seperti kembali kejaman penjajahan pendidikan dengan mengabaikan kalimat yang juga tertulis dalam sebuah dasar negara… “mencerdaskan kehidupan bangsa”, implikasinya ya …. Kemlaratan lagi ?!

16
Jan
09

Jangan takut golput !!!!

untitled-1

Tahun ini Indonesia masuk ke tahun politik. Dimana perang warna semakin memanas karena semakin dekat dengan arena perpolitikan tak beraturan, budaya pilih memilih akan dilaksanakan “lagi”. Tapi, apa iya dengan bergantinya petinggi yang pastinya terikat dengan warna-warna tertentu dibelakangnya itu akan mengubah bangsa kita menjadi lebih baik??

Jangan langsung percaya pada setiap ocehan mereka para bapak-bapak, ibu-ibu yang tiba-tiba jadi pandai berbicara dan mendadak terkenal lewat iklan itu kawan….
Mereka membual, atau lebih tepatnya mengigau,,

Mengigau di siang bolong, mengigau untuk kesekian kalinya bahkan setelah mereka pernah “menduduki” peran indah setelah menyampaikan igauan pada kalian….

Untuk kesekian kalinya bangsa kita memiliki perubahan warna…
Tapi, untuk kesekian kalinya juga kita terkecoh, hingga akhirnya tertipu, lalu tertindas…

Tertindas kuasa mereka, tertindas janji yang tidak pernah dilakoni,
Kita ini tidak butuh warna-warna yang hanya sekedar kamuflase dengan topeng semua ucap manis yang selalu tertampakan itu,
Yang kita mau adalah perubahan……………!!!!!!!!!

Perubahan dalam arti merekonstruksi ulang seluruh sistem di negara kita yang sudah morat marit disegala bidang.
Kemiskinan, kebodohan, penipuan, kemunafikan, apapun yang sifatnya negatif pada negara ini… telah melanglang buana seantero jagad alam semesta raya dunia.

Bukannya ingin menghina bangsa sendiri, namun tidak ada salahnya apabila kita menengok kembali perjalanan bangsa kita yang semula terpuruk menjadi lebih terpuruk ini. Bukan hanya kenginan semu berbagai warna itu saja yang menjadi busuknya negara kita ini, tapi juga kinerja mereka setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan itu…

Silahkan tengok beberapa warna yang sempat menjadi tinggi ini,

Rasa simpati terhadap para korban bencana yang sangat tinggi dengan TIDAK ingin menolong para korban bencana secara langsung ketika bangsa ini sedang dilanda musibah, padahal sebelumnya ia pernah berjanji untuk lebih dekat pada rakyat.. tapi, MANA?! : oleh si merah.

Lalu, ada juga yang ingin lebih mengutamakan pariwisata yang ada dalam negara kita…namun Ia sendiri malah sibuk pergi ”plesir” keberbagai negara dengan fasilitas yang disediakan negara dengan alasan palsu yang tentunya tidak masuk akal…. :oleh hijau dalam kemelut diri yang terbagi.

Berikutnya, mengenai pemulihan pangan dengan pemberian bibit-bibit yang katanya ”unggul” pada sejumlah petani, namun hasilnya,,, panen gagal. Rakyat lapar?! :oleh biru.

Belum lagi warna warna lain hasil biasan dari warna-warna terdahulu yang terungkap mengambil yang bukan merupakan haknya itu…

IRONIS,,,

Lupakan semua lantunan merdu tentang negara ”makmur” kita ini…

Semua kepahitan yang kita alami kemarin, hari ini, bahkan esok tidak akan berubah dengan hanya adanya warna-warna dalam kotak yang nomor urutnya telah diacak pada selembar kertas itu.

Semua akan terasa sama apabila kita tidak pernah melangkah sendiri untuk maju, kawan.

Lebih baik menjadi orang-orang bersih dan putih yang tidak termasuk kedalam bagian dari orang-orang yang telah tertipu itu….?!

Jangan pernah takut untuk mengikuti kata hati,
Teruslah berpendirian dan percaya pada diri sendiri daripada salah menentukan pilihan hanya karena terkecoh.

Bangkit negaraku,,
Maju bangsaku,,

16
Jan
09

bahasa sebagai alat permainan penanda

PENDAHULUAN

Banyaknya perbedaan latar belakang mengenai apa itu komunikasi antarbudaya dan kaitan antara bahasa sebagai salah satu bentuk dari hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya, ada beberapa pemahaman mengenai apa itu komunikasi antarbudaya:

a. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.

b. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

c. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.

Dari beberapa pengertian tersebut cukup menjelaskan bahwa komunikasi sangat diperlukan dalam proses keberlangsungan hubungan antara beberapa kebudayaan yang berbeda. Sedangkan, hakekat utama dari komunikasi itu sendiri adalah bahasa. Dengan kata lain, bahasa merupakan sebuah alat. Alat untuk memainkan berbagai bentuk pemaknaan berupa simbol atau penanda yang nantinya akan dijadikan pesan yang akan disampaikan kepada orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Oleh sebab itu, bahasa yang bertindak sebagai alat permainan penanda bukan tidak mungkin dapat menjadi hambatan dalam proses keberlangsungan hubungan komunikasi antarbudaya.

Bahkan ketika kita dapat menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan kecermatan yang harafiah, maknanya yang dalam sering hilang karena makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut. Terjemahan harafiah dari satu bahasa ke bahasa lain sering menimbulkan kesalahpahaman karena terjemahan tersebut tidak memperhitungkan gaya bahasa yang berlandaskan budaya.

PEMBAHASAN

Manusia menggunakan bunyi dan tanda yang disebut sebagai bahasa, untuk mengoordinasikan tindakan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh organisme manusia dan pemisahan tanda serta bunyi yang diciptakan. Hal tersebut membuktikan bahwa bahasa dapat menjadi alat yang bermanfaat dalam memprediksikan dan mengontrol perilaku di masa yang akan datang. Bahasa juga dapat menjadi sumber dalam menyediakan bentuk bagi diri kita diluar aliran perbincangan dan praktik sehari-hari yang tidak menentu dan tidak tertata.

Di antara semua bentuk penanda atau simbol, bahasa merupakan penanda yang paling rumit, halus, dan berkembang. Telah kita ketahui bersama bahwa bahasa, berdasarkan kesepakatan bersama, dapat menjadikan suatu simbol bagi suatu hal lainnya. Namun, kita tidak dapat mempelajari suatu bahasa asing dengan sekedar menghapalkan kosakatanya dan struktur tata bahasanya. Bahasa adalah suatu sistem yang rumit yang berhubungan dengan budaya. Kini, manusia telah sepakat dalam saling kebergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili perstiwa-peristiwa dalam sistem-sistem syaraf mereka.

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal yang disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.

Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstraksi itu, problemnya akan menjadi semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman kita jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.

Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang yang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya, proses abstraksi juga menyulitkan. Misalnya, kata ”anjing” dapat dimaknai secara bebeda, meskipun orang-orang membayangkan hewan yang sosoknya kurang lebih sama. Bagi sebagian orang, anjing adalah sebagai sahabat yang setia dan penjaga rumah yang baik, bagi sebagian lainnya, anjing adalah hewan yang menakutkan dan harus dihindari, sedangkan bagi sebagian orang lainnya lagi, anjing dilukiskan sebagai jenis hewan yang dagingnya lezat untuk dimakan. Orang Barat umumnya menganggap anjing sebagai hewan favorit atau yang paling disayangi.

Bahasa, dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat distabilkan untuk tujuan praktis. Bahasa secara langsung berimbas pada bentuk kehidupan manusia. Jadi, selama makna kata ’anjing’ dibangun melalui hubungan penanda anjing, meja, panel, dan lain-lain maka ia tidak stabil. Namun ia distabilkan oleh pengetahuan sosial kata ’anjing’, yaitu apa, dan bisa dimanfaatkan untuk apa; dengan kata lain, kata ’anjing’ tampil dalam narasi pragmatis atau permainan bahasa.

Makna kata ’permainan’ tidak berasal dari sejumlah karakteristik mendasar atau karakteristik spesial suatu permainan namun muncul melalui suatu jaringan kompleks hubungan dan karakteristik, hanya sebagian dari mereka yang pernah hadir dalam suatu permainan spesifik. Jadi, permainan dibangun dari serangkaian ’kesamaan keluarga’. Anggota keluarga bisa saja berbagi karakteristik satu sama lain tanpa harus berbagi ciri umum yang sama. Dalam hal ini, kata ’permainan’ bersifat relasional : makna permainan kartu tergantung pada hubungannya dengan permainan papan dan permainan bola. Lebih jauh lagi, kata ’permainan’ itu sendiri memperoleh makna dari tempatnya di dalam suatu permainan bahasa spesifik dari berbagai permainan dan dari relasi kata ’permainan’ dengan hal-hal yang bukan merupakan permainan.

Permainan yang berbeda seolah berkata bahwa inilah yang disebut dengan permainan. Untuk melakukannya, kita menciptakan batas untuk tujuan tertentu dan memberikan contoh bukan sebagai ’makna’ yang dibangun oleh ’bahasa’ yang abstrak dan direifikasi, namun sebagai penjelasan praktis untuk rujukan tertentu. Dalam satu aspek, mengetahui apa itu permainan berarti harus mampu memainkan permainan. Kendati permainan bahasa adalah aktivitas yang terikat aturan, namun aturan-aturan tersebut bukan merupakan komponen abstrak bahasa melainkan aturan-aturan konstitutif, aturan yang telah disebutkan oleh kekuatan aturan dalam praktik sosial. Aturan bahasa membangun pemahaman pragmatis kita tentang bagaimana hidup dalam masyarakat.

Dalam studi kebudayaan, bahasa ditempatkan sebagai sebuah unsur penting selain unsur-unsur lain seperti sistem pengetahuan, mata pencaharian, adat-istiadat, kesenian, sistem peralatan hidup dan lain-lain. Bahkan bahasa dapat dikategorikan sebagai unsur kebudayaan yang berbentuk non material selain nilai, norma, dan kepercayaan.
Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara tumpang tindih. Satu faktor lain yang ikut dalam tumpang tindih itu adalah pikiran atau cara berpikir. Pengaruh timbal balik antara bahasa dan kebudayaan segera dapat dilihat dalam proses belajar bahasa kedua atau bahasa asing. Pola-pola komunikasi yang di pengaruhi oleh kebudayaan jelas dapat ditelusuri melalui pengamatan terhadap kecenderungan-kecenderungan berbahasa. Perbedaan sikap kebudayaan terhadap pesan verbal ditentukan oleh tempat dimana kata-kata itu diucapkan. Di Amerika
Serikat pembicaraan tentang suatu tema yang dipertanyakan selalu mendapat perhatian utama, karena itu biasanya si pembicara mengawali pembicaraan dengan menggambarkan gagasan dan cara berpikir secara jelas, logis, dan sepersuasif mungkin. Ada baiknya kita belajar dari pepatah Cina tentang sikap terhadap pentingnya sebuah percakapan; Lao Tsu mengatakan: ’barang siapa yang tahu, dia jangan bicara. Barang siapa yang bicara artinya dia tidak tahu’ . Contoh, sikap orang Asia terhadap speech dan retorika cenderung holistik, karena kata-kata hanya merupakan sebagian kecil, dan merupakan inspirasi dari seluruh konteks komunikasi yang di tentukan oleh relasi antarpribadi atau antar peserta komuikasi. Penggunaan ’kata’ dipertimbangkan sebagai alat untuk mengekspresikan manusia, ’kata’ sekedar menunjukan bahwa penggunaannya mengakui keterbatasan dan bias yang mereka miliki.

Dalam berkomunikasi antarbudaya ada baiknya jika kita mengenal beberapa variasi berbahasa yang bersumber pada :

1. Dialek, yakni variasi bahasa di suatu daerah, dengan kosa kata yang khas, seperti coke, soda, pop, cola, dan lain-lain.

2. Aksen, yang menunjukan pemilikan pronounciation, tekanan dalam pengucapan yang kita bisa bedakan atas, car, new, orleans, dan lain-lain.

3. Jargon, adalah sebuah unit kata-kata atau istilah yang di bagikan atau dipertukarkan oleh mereka yang sama profesinya atau pengalamannya.

4. Argot, bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh suatu kelompok yang luas dalam sebuah kebudayaan untuk mendefinisikan batas-batas kelmpok mereka dengan orang lain yang, dan juga untuk menunjukan posisi mereka yang kuat dalam suatu masyarakat.

Bahasa terikat oleh koteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukan seuatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakaiya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula.

Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa (kromo versus ngoko misalnya) dan Sunda menunjukan alam pikiran yang berbeda pula bagi pihak-pihak yang menggunakan bahasa tersebut. Sebagai contoh, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek, dan aing, sedangkan untuk orang kedua adalah : andika, anjeun, maneh, silaing, dan sia. Kata ”makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:

• Neda, untuk diri sendiri
• Tuang, untuk orang yang kita hormati
• Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa yang setara dengan tuang dalam bahasa Sunda)
• Nyatu, untuk hewan
• Emam, untuk anak kecil

Ketika kita menggunkakan bahasa daerah, sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu memaksa kita sadar atau tidak untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu. Sebagian orang enggan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda karena bahasa daerah tersebut bersifat feodalistik dan diskriminatif, baik dalam penggunaan kata ganti orang, kata sifat ataupun kata kerja. Bahasa inggris jelas lebih tidak diskriminatif. Kita dapat menggunakan kata ganti orang pertama I dan kata ganti orang kedua You kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi informal. Bahasa Jerman membedakan bahasa formal untuk sopan santun, misalnya untuk orang yang baru dikenal, atau orang yang berstatus lebih tinggi, dan bahasa informnal adalah untuk kawan yang sudah akrab. Dalam bahasa Jerman, kata ganti orang kedua adalah Sie (formal) dan Du (informal). Maka untuk menanyakan nama seseorang, kita dapat bertanya, ”Wie heisen Sie?” (bentuk formal) atau ”Wie heist du?”(bentuk informal).

Apa yang diceritakan di atas hanyalah contoh-contoh tentang adanya kata-kata atau simbol-simbol yang dapat membuat sikap kita menjadi bingung. Permainan antara simbol-simbol dengan hal-hal yang disimbolkan, apakah itu pada individu-individu atau masyarakat, cukup serius dalam semua jenjang budaya sehingga dapat menimbulkan masalah kemanusiaan yang berkepanjangan. Namun, dengan adanya sistem-sistem komunikasi modern, masalah-masalah komunikasi modern, masalah permainan simbol-simbol verbal dengan realitas-realitas menjadi lebih penting lagi.

Kita selalu menganggap bahwa arti atau makna dikandung setiap kata yang kita ucapkan. Sebenarnya kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang memberi makna pada kata, dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, bergantung pada konteks ruang dan waktu. Karena sekali lagi, bahwa bahasa atau kata-kata hanyalah sebuah alat dari proses permainan penanda atau pemaknaan berkelanjutan. Tugas kita hanyalah memainkan permainan-permainan tersebut dengan baik sehingga nantinya hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang tidak dapat merusak hubungan kita dalam berkomunikasi antarbudaya atau dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya. Suatu kata muncul dengan berbagai cara. Makna yang lazim kita berikan pada kata-kata itu mungkin telah mengalami perubahan dalam rentan waktu yang sulit kita ukur. Etimologi memang bidang yang menarik, namun kita tidak memiliki metode yang andal untuk mengatahui asal-usul setiap kata yang kita gunakan dan perubahan, bentuk dan maknanya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi akan mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.

Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda pula. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal seperti yang telah diuraikan diatas. Perbedaan-perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya dapat menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan yang tidak nyaman atau kesalah pahaman. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Maka, kesalahpahaman-kesalahpahaman yang dapat menghambat proses komunikasi antarbudaya itu dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena, setiap orang mempuyai gagasan pribadi mengenai suatu konsep.

Kondisi emosional dan motivasional individu juga dapat mempengaruhi
makna yang ia berikan pada konsep tersebut. Kita tidak pernah yakin bahwa lawan bicara kita punya gagasan yang sama seperti gagasan kita. Kita dapat berusaha memahami gagasan pendengar kita dengan memperhatikan lawan bicara kita dengan memperhatikan reaksinya terhadap apa yang kita katakan dan mengenalnya lebih jauh, namun mungkin ita takkan pernah sepenuhnya memahami gagasannya tersebut.

KESIMPULAN

Oleh karena itu, bahasa yang sejak awal sudah disebut-sebut sebagai alat permainan penanda demi kelancaran proses hubungan komunikasi antarbudaya ini, sebaiknya digunakan secara benar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dari para pelakunya. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa bahasa dapat mengandung arti yang majemuk. Maka dari itu meskipun bahasa-bahasa dapat dipelajari, kesalahan-kesalahan yang telah diuraikan dapat terjadi.

Perbendaharaan kata, tata bahasa, dan fasilitas verbal tidaklah memadai. Kecuali bila orang dapat memahami isyarat-isyarat halus yang implisit dalam bahasa, nada suara, gerak-gerik, dan ekspresi, ia tidak hanya akan menafsirkan secara salah apa yang dikatakan kepadanya, ia pun mungkin akan menyinggung perasaan orang lain tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal itu bisa terjadi.
Untuk bangsa Indonesia sendiri pengajaran komunikasi antarbudaya adalah sangat penting untuk dilakukan, mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku bangsa dan ras. Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar, pertemuan kita dengan mereka tidak terhindarkan. Di negara kita terdapat banyak subkultur : ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Banyak orang Indonesia pergi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia atau bahkan ke luar negeri untuk belajar, bisnis, atau bekerja. Demi kelancaran tugas mereka, penting bagi mereka untuk mengetahui asas-asas komunikasi antarbudaya terutama dalam penggunaan bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana Dedy. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi Dengan Orang
orang yang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya,2003
Barker Chris. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2006
Liliweri Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset , 2004
Mulyana Dedy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005
Mulyana Deddy. Human Communication,konteks-konteks komunikasi.Bandung:PT
Remaja Rosdakarya,2005

16
Jan
09

SADISME HUMANI

“Sebuah tinjauan terhadap pengaruh media kriminal”

Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna karena memiliki akal budi. Tapi ini seakan terpatahkan dengan maraknya tindakan sadis manusia. Sadisme dan kriminalitas benar-benar telah mencuri peradaban kita. Peristiwa penyerangan Desa Soya-Sirimau yang menewaskan 12 orang dan menyebabkan 12 orang lainnya luka-luka berat, kembali membuyarkan upaya-upaya penghentian kekerasan dan pewujudan perdamaian di Ambon. Peristiwa itu sekaligus menunjukkan masih kuatnya kekuatan jahat ”sadisme” di sana. Menurut Fromm, sadisme adalah sebagai patologi psiko-sosial yang sangat berbahaya terutama bila bukan lagi sekedar diidap oleh segelintir orang, melainkan telah mengendap dan mewabah menjadi suatu fakta sosial.

Sadisme berasal dari nama belakang seorang Prancis, Marquis de Sade, yang dalam tulisan-tulisannya banyak mengulas masalah kekerasan. Secara karakterologis, sadisme dapat didefinisikan sebagai kenikmatan yang diperoleh lewat upaya menyakiti, melecehkan, menghina dan menghancurkan pihak-pihak lain.

Secara umum biasanya kita menilai bahwa tindakan sadisme manusia didasari oleh beberapa motif, yaitu motif dendam dan juga motif ekonomi. Namun, pada kenyataannya tindakan sadisme manusia dapat termotifasi oleh beberapa sebab, beberapa contohnya adalah:

• Pembantaian satu keluarga yang dilakukan oleh seorang tamu, disebabkan hanya karena tamu tersebut merasa tersinggung terhadap ucapan si tuan rumah

• Pembunuhan yang dilakukan seorang pemuda terhadap temannya, hanya karena berebut sebatang rokok

• Pemerkosaan oleh seorang pemuda terhadap nenek yang berusia 65 tahun, disebabkan karena si Pemuda tak terima di nasehati oleh sang nenek.

• Mutilasi yang berujung pada pembunuhan berantai oleh seorang pemuda yang disebabkan oleh kisah cinta sejenis yang terlarang (gay)

• Pertikaian antar warga yang hanya disebabkan oleh kerasnya menyetel volume televisi

• Pembunuhan berencana oleh kawanan mahasiswa terhadap teman kampusnya karena ingin merampas mobil korbannya

• Penipuan berkedok dukun pengganda uang yang berujung maut

• Dan lain-lain,

Banyaknya hal-hal kecil yang diantaranya dapat menimbulkan kematian terebut sudah cukup membuktikan bahwa pada saat ini, dengan sangat mudahnya manusia bertindak semaunya tanpa mempertimbangkan lagi hati nuraninya. Mereka dengan sangat mudah menyakiti dan menghabisi nyawa seseorang. Oleh karenanya, segala daya dan upaya harus segera dilakukan. Kita harus segera bertindak, akar permasalahan dari tindakan tersebut harus ditemukan secara tepat dan benar. Bila terlambat, negeri ini akan tumbuh menjadi daerah yang rawan bagi kesejahteraan umat manusia, anti peradaban, dan mengabaikan norma-norma yang diharapkan dapat menjadi panutan masyarakat.

Persoalannya adalah dari beberapa diskusi dan kajian-kajian, tayangan sadisme dan kriminalitas yang menjadi ‘tambang uang’ bagi stasiun televisi-televisi nasional, dianggap sebagai pemicu maraknya tindakan sadisme itu di tengah-tengah masyarakat. Kondisinya makin diperparah oleh hadirnya koran-koran lokal yang komoditas dagang utama adalah kriminalitas dan sadisme itu.

Di halaman depan surat kabar Jawa Pos edisi kemarin, terpampang berita-berita yang membuat buluk kuduk kita berdiri. Kita terenyuh karena kabar yang disampaikan, tidak sepatutnya terjadi di negeri ini. Negeri yang dikenal santun, berakhlak mulia, menganut norma-norma adat yang kebanyakan disandarkan pada tatanan Islam.

Laporan utamanya adalah kasus pembunuhan berantai yang terjadi di Jombang. Dimulai dari adanya penyidikan kasus mutilasi terhadap Heri Santoso, yang ditemukan terpotong menjadi tujuh bagian di Ragunan, Jakarta Selatan kemudian melebar ke Jombang, Jawa Timur. Bila kita rajin mencermati pemberitaan surat kabar yang bermoto ‘Selalu Ada Yang Baru’ ini, mungkin jarang sekali laporan pada halaman pertama didominasi oleh kasus-kasus kriminal dan sadisme.

Bukan hanya pada surat kabar harian saja berita-berita kriminal mengenai mutilasi tersaji. Di beberapa stasiun televisi swasta juga akhir-akhir ini banyak mengisahkan tentang maraknya kejadian-kejadian yang berujung maut. Tidak hanya pembunuhan yang berujung mutilasi, namun pembunuhan berencana yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorangpun sedang hangat dibicarakan. Selain pemerkosaan, pencabulan, penculikan, dan perampasan harta benda, pembunuhan yang akhirnya berujung ke pada tindakan mutilasi sudah semakin mendominasi pemberitaan kriminal di Indonesia. Bahkan berita tersebut sudah menjadi laporan utama di tiap-tiap pemberitaan di beberapa stasiun televisi swasta yang tentunya sudah menggeser pemberitaan korupsi dan pemilu.

Ada apakah ini sebenarnya? Mengapa dengan sangat mudah manusia membunuh sesamanya, dan dengan sangat mudah pula manusia-manusia tersebut bertindak sadis. Oleh karena itu saya tertarik untuk menulis tentang tindakan mutilasi ini, baik itu tentang penjabaran beberapa motif pelaku untuk bertindak tidak sesuai norma tersebut, maupun mengenai adanya keterkaitan media massa dalam proses tindakan asusila ini.

16
Jan
09

INCEST, SALAH SIAPA ?

INCEST, SALAH SIAPA ?

Peristiwa amoral terjadi di Jambi. Seorang ibu hamil akibat berhubungan dengan anak kandungnya sendiri. Perempuan 35 tahun itu kini mengandung delapan bulan.
Peristiwa ini menghebohkan warga Karang Solok, Kecamatan Kumpe Ulu, Kabupaten Muarojambi, Jambi. Kini perempuan bernama Sumini itu beserta anak laki-lakinya, Feriyanto yang masih berusia 16 tahun, diamankan di kantor polisi.
Hubungan suami istri dilakukan ibu dan anak itu bermula ketika telepon seluler milik Feriyanto sering memuat foto-foto porno. Dan celakanya, foto-foto syur itu diperlihatkan kepada ibunya. Feri mengakui telah menyetubuhi ibunya empat kali.
Perbuatan bejat itu berawal pada suatu malam, ketika Feri sesak nafas dan minta diobati ibunya. Saat tidur di pelukan ibunya, nafsu pemuda itu pun muncul. Gayung bersambut maka terjadilah hubungan suami istri yang diperankan ibu dan anaknya. Mereka tidur di satu kamar dan melakukan perbuatan terkutuk itu sampai berulang kali di waktu yang berbeda.
Kasus itu terungkap atas laporan Parmin, adik Sumini, kepada warga setempat yang curiga melihat perut Sumini membesar padahal ia sudah 15 tahun hidup menjanda. Kejadian yang membuat malu warga desa itu kemudian dilaporkan kepada kepala desa setempat. Setelah diselidiki warga, ternyata kehamilan Sumini hasil berhubungan intim dengan Feri, anak kandungnya sendiri. Hasil pemeriksaan sementara dan dari pengakuan kedua pelaku terungkap, keduanya melakukan perbuatan bejat itu atas dasar suka sama suka. Masing-masing mengaku tidak dipaksa.
Lalu, incest kesalahan siapa? kasus incest yang terjadi di Jambi tersebut adalah sebuah tambahan PR untuk para rohaniawan, kaum moralis dan fanatikus agama di negeri ini. Bukannya saya ingin menyalahkan suatu agama, namun sebuah incest story yang menggemparkan tidak akan mungkin terjadi apabila kita lebih memperdalam kembali ajaran-ajaran dan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam suatu agama, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan kita untuk berperilaku baik. Oleh karena itu incest dapat dengan mudah terjadi akibat kemajuan IPTEK yang tidak sejalan dengan IMTAQ. Jika dilihat dari kesalahan pelaku, maka kasus ini mutlak adalah kesalahan ibunya yang memang sudah hidup menjanda selama 15 tahun, hal itu membuktikan bahwa dirinya memang “haus”. Namun, meski anak yang memancing perbuatan tidak senonoh itu, semestinya sang ibu yang memegang kontrol dan menahan diri. Hal itu turut membuktikan, begitu pentingnya mengajarkan seks sejak anak berusia dini.
Kita sebagai orang yang beragama hendaknya lebih memperdalam lagi ilmu agama kita, karena agama atau sistem nilai ideal selalu menganjurkan untuk selalu saling mengingatkan. Anjuran seperti itu memungkinkan setiap orang bisa mendeskripsikan nilai-nilai dan perilaku ideal yang seharusnya. Penggunaan IPTEK juga hendaknya disertai dengan penguatan IMTAQ dalam diri seseorang. Secara global, revolusi yang radikal di bidang pendidikan, kebudayaan dan hukum harus memberlakukan hukum yang sangat tegas dan sekeras kerasnya. UU pornografi yang kurang peduli, sehingga kejadian ini seolah adalah efek sekunder kejahatan pemerintah dewan dan sikap tak acuh masyarakat yang harus kita lawan dengan tidak “menyantap” lagi hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi, terlebih bagi anak-anak. Sehingga, bentuk pengajaran seks sejak anak berusia dini sangat diperlukan mengingat banyaknya orang yang masih salah paham terhadap kegunaan Sex Education. Yang terakhir adalah peran orang tua, Ibu seharusnya dapat menolak seluruh aspek yang dapat menimbulkan hal-hal negative, terlebih masalah seks anak usia dini.
Beberapa hal diatas selayakya dapat dilaksanakan secara maksimal, maka insya allah kasus serupa tidak akan terjadi kembali. Jika tidak ada yang peduli, maka akan semakin banyak lagi anak-anak di muka bumi ini yang menjadi korban.




Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 3 other subscribers
April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930