PENDAHULUAN
Banyaknya perbedaan latar belakang mengenai apa itu komunikasi antarbudaya dan kaitan antara bahasa sebagai salah satu bentuk dari hambatan-hambatan dalam komunikasi antarbudaya, ada beberapa pemahaman mengenai apa itu komunikasi antarbudaya:
a. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.
b. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.
c. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.
Dari beberapa pengertian tersebut cukup menjelaskan bahwa komunikasi sangat diperlukan dalam proses keberlangsungan hubungan antara beberapa kebudayaan yang berbeda. Sedangkan, hakekat utama dari komunikasi itu sendiri adalah bahasa. Dengan kata lain, bahasa merupakan sebuah alat. Alat untuk memainkan berbagai bentuk pemaknaan berupa simbol atau penanda yang nantinya akan dijadikan pesan yang akan disampaikan kepada orang lain yang berbeda latar belakang budayanya. Oleh sebab itu, bahasa yang bertindak sebagai alat permainan penanda bukan tidak mungkin dapat menjadi hambatan dalam proses keberlangsungan hubungan komunikasi antarbudaya.
Bahkan ketika kita dapat menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain dengan kecermatan yang harafiah, maknanya yang dalam sering hilang karena makna tersebut berakar dalam budaya bahasa tersebut. Terjemahan harafiah dari satu bahasa ke bahasa lain sering menimbulkan kesalahpahaman karena terjemahan tersebut tidak memperhitungkan gaya bahasa yang berlandaskan budaya.
PEMBAHASAN
Manusia menggunakan bunyi dan tanda yang disebut sebagai bahasa, untuk mengoordinasikan tindakan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Bahasa adalah alat yang digunakan oleh organisme manusia dan pemisahan tanda serta bunyi yang diciptakan. Hal tersebut membuktikan bahwa bahasa dapat menjadi alat yang bermanfaat dalam memprediksikan dan mengontrol perilaku di masa yang akan datang. Bahasa juga dapat menjadi sumber dalam menyediakan bentuk bagi diri kita diluar aliran perbincangan dan praktik sehari-hari yang tidak menentu dan tidak tertata.
Di antara semua bentuk penanda atau simbol, bahasa merupakan penanda yang paling rumit, halus, dan berkembang. Telah kita ketahui bersama bahwa bahasa, berdasarkan kesepakatan bersama, dapat menjadikan suatu simbol bagi suatu hal lainnya. Namun, kita tidak dapat mempelajari suatu bahasa asing dengan sekedar menghapalkan kosakatanya dan struktur tata bahasanya. Bahasa adalah suatu sistem yang rumit yang berhubungan dengan budaya. Kini, manusia telah sepakat dalam saling kebergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili perstiwa-peristiwa dalam sistem-sistem syaraf mereka.
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal yang disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa juga dapat dianggap sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.
Bila kita menyertakan budaya sebagai variabel dalam proses abstraksi itu, problemnya akan menjadi semakin rumit. Ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses abstraksi untuk mempresentasikan pengalaman kita jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa.
Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang yang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda, dan konsekuensinya, proses abstraksi juga menyulitkan. Misalnya, kata ”anjing” dapat dimaknai secara bebeda, meskipun orang-orang membayangkan hewan yang sosoknya kurang lebih sama. Bagi sebagian orang, anjing adalah sebagai sahabat yang setia dan penjaga rumah yang baik, bagi sebagian lainnya, anjing adalah hewan yang menakutkan dan harus dihindari, sedangkan bagi sebagian orang lainnya lagi, anjing dilukiskan sebagai jenis hewan yang dagingnya lezat untuk dimakan. Orang Barat umumnya menganggap anjing sebagai hewan favorit atau yang paling disayangi.
Bahasa, dalam konteks pemakaian secara sosial, secara temporer dapat distabilkan untuk tujuan praktis. Bahasa secara langsung berimbas pada bentuk kehidupan manusia. Jadi, selama makna kata ’anjing’ dibangun melalui hubungan penanda anjing, meja, panel, dan lain-lain maka ia tidak stabil. Namun ia distabilkan oleh pengetahuan sosial kata ’anjing’, yaitu apa, dan bisa dimanfaatkan untuk apa; dengan kata lain, kata ’anjing’ tampil dalam narasi pragmatis atau permainan bahasa.
Makna kata ’permainan’ tidak berasal dari sejumlah karakteristik mendasar atau karakteristik spesial suatu permainan namun muncul melalui suatu jaringan kompleks hubungan dan karakteristik, hanya sebagian dari mereka yang pernah hadir dalam suatu permainan spesifik. Jadi, permainan dibangun dari serangkaian ’kesamaan keluarga’. Anggota keluarga bisa saja berbagi karakteristik satu sama lain tanpa harus berbagi ciri umum yang sama. Dalam hal ini, kata ’permainan’ bersifat relasional : makna permainan kartu tergantung pada hubungannya dengan permainan papan dan permainan bola. Lebih jauh lagi, kata ’permainan’ itu sendiri memperoleh makna dari tempatnya di dalam suatu permainan bahasa spesifik dari berbagai permainan dan dari relasi kata ’permainan’ dengan hal-hal yang bukan merupakan permainan.
Permainan yang berbeda seolah berkata bahwa inilah yang disebut dengan permainan. Untuk melakukannya, kita menciptakan batas untuk tujuan tertentu dan memberikan contoh bukan sebagai ’makna’ yang dibangun oleh ’bahasa’ yang abstrak dan direifikasi, namun sebagai penjelasan praktis untuk rujukan tertentu. Dalam satu aspek, mengetahui apa itu permainan berarti harus mampu memainkan permainan. Kendati permainan bahasa adalah aktivitas yang terikat aturan, namun aturan-aturan tersebut bukan merupakan komponen abstrak bahasa melainkan aturan-aturan konstitutif, aturan yang telah disebutkan oleh kekuatan aturan dalam praktik sosial. Aturan bahasa membangun pemahaman pragmatis kita tentang bagaimana hidup dalam masyarakat.
Dalam studi kebudayaan, bahasa ditempatkan sebagai sebuah unsur penting selain unsur-unsur lain seperti sistem pengetahuan, mata pencaharian, adat-istiadat, kesenian, sistem peralatan hidup dan lain-lain. Bahkan bahasa dapat dikategorikan sebagai unsur kebudayaan yang berbentuk non material selain nilai, norma, dan kepercayaan.
Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara tumpang tindih. Satu faktor lain yang ikut dalam tumpang tindih itu adalah pikiran atau cara berpikir. Pengaruh timbal balik antara bahasa dan kebudayaan segera dapat dilihat dalam proses belajar bahasa kedua atau bahasa asing. Pola-pola komunikasi yang di pengaruhi oleh kebudayaan jelas dapat ditelusuri melalui pengamatan terhadap kecenderungan-kecenderungan berbahasa. Perbedaan sikap kebudayaan terhadap pesan verbal ditentukan oleh tempat dimana kata-kata itu diucapkan. Di Amerika
Serikat pembicaraan tentang suatu tema yang dipertanyakan selalu mendapat perhatian utama, karena itu biasanya si pembicara mengawali pembicaraan dengan menggambarkan gagasan dan cara berpikir secara jelas, logis, dan sepersuasif mungkin. Ada baiknya kita belajar dari pepatah Cina tentang sikap terhadap pentingnya sebuah percakapan; Lao Tsu mengatakan: ’barang siapa yang tahu, dia jangan bicara. Barang siapa yang bicara artinya dia tidak tahu’ . Contoh, sikap orang Asia terhadap speech dan retorika cenderung holistik, karena kata-kata hanya merupakan sebagian kecil, dan merupakan inspirasi dari seluruh konteks komunikasi yang di tentukan oleh relasi antarpribadi atau antar peserta komuikasi. Penggunaan ’kata’ dipertimbangkan sebagai alat untuk mengekspresikan manusia, ’kata’ sekedar menunjukan bahwa penggunaannya mengakui keterbatasan dan bias yang mereka miliki.
Dalam berkomunikasi antarbudaya ada baiknya jika kita mengenal beberapa variasi berbahasa yang bersumber pada :
1. Dialek, yakni variasi bahasa di suatu daerah, dengan kosa kata yang khas, seperti coke, soda, pop, cola, dan lain-lain.
2. Aksen, yang menunjukan pemilikan pronounciation, tekanan dalam pengucapan yang kita bisa bedakan atas, car, new, orleans, dan lain-lain.
3. Jargon, adalah sebuah unit kata-kata atau istilah yang di bagikan atau dipertukarkan oleh mereka yang sama profesinya atau pengalamannya.
4. Argot, bahasa-bahasa khusus yang digunakan oleh suatu kelompok yang luas dalam sebuah kebudayaan untuk mendefinisikan batas-batas kelmpok mereka dengan orang lain yang, dan juga untuk menunjukan posisi mereka yang kuat dalam suatu masyarakat.
Bahasa terikat oleh koteks budaya. Dengan ungkapan lain, bahasa dapat dipandang sebagai perluasan budaya. Menurut Teori Relativitas Linguistik, sebenarnya setiap bahasa menunjukan seuatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakaiya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan, dan alam semesta di sekitarnya dengan cara yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula.
Tingkatan-tingkatan dalam bahasa Jawa (kromo versus ngoko misalnya) dan Sunda menunjukan alam pikiran yang berbeda pula bagi pihak-pihak yang menggunakan bahasa tersebut. Sebagai contoh, dalam bahasa Sunda terdapat sejumlah kata untuk orang pertama, yaitu abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek, dan aing, sedangkan untuk orang kedua adalah : andika, anjeun, maneh, silaing, dan sia. Kata ”makan” dapat diterjemahkan menjadi sejumlah kata dalam bahasa Sunda, seperti:
• Neda, untuk diri sendiri
• Tuang, untuk orang yang kita hormati
• Dahar, untuk teman sebaya yang sudah akrab (anehnya dahar ini justru halus dalam bahasa Jawa yang setara dengan tuang dalam bahasa Sunda)
• Nyatu, untuk hewan
• Emam, untuk anak kecil
Ketika kita menggunkakan bahasa daerah, sifat bahasa daerah yang berlapis-lapis itu memaksa kita sadar atau tidak untuk memandang orang di hadapan kita dengan kategori tertentu. Sebagian orang enggan menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Sunda karena bahasa daerah tersebut bersifat feodalistik dan diskriminatif, baik dalam penggunaan kata ganti orang, kata sifat ataupun kata kerja. Bahasa inggris jelas lebih tidak diskriminatif. Kita dapat menggunakan kata ganti orang pertama I dan kata ganti orang kedua You kepada siapapun, tak peduli apapun jabatan mereka, baik dalam situasi formal maupun dalam situasi informal. Bahasa Jerman membedakan bahasa formal untuk sopan santun, misalnya untuk orang yang baru dikenal, atau orang yang berstatus lebih tinggi, dan bahasa informnal adalah untuk kawan yang sudah akrab. Dalam bahasa Jerman, kata ganti orang kedua adalah Sie (formal) dan Du (informal). Maka untuk menanyakan nama seseorang, kita dapat bertanya, ”Wie heisen Sie?” (bentuk formal) atau ”Wie heist du?”(bentuk informal).
Apa yang diceritakan di atas hanyalah contoh-contoh tentang adanya kata-kata atau simbol-simbol yang dapat membuat sikap kita menjadi bingung. Permainan antara simbol-simbol dengan hal-hal yang disimbolkan, apakah itu pada individu-individu atau masyarakat, cukup serius dalam semua jenjang budaya sehingga dapat menimbulkan masalah kemanusiaan yang berkepanjangan. Namun, dengan adanya sistem-sistem komunikasi modern, masalah-masalah komunikasi modern, masalah permainan simbol-simbol verbal dengan realitas-realitas menjadi lebih penting lagi.
Kita selalu menganggap bahwa arti atau makna dikandung setiap kata yang kita ucapkan. Sebenarnya kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang memberi makna pada kata, dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, bergantung pada konteks ruang dan waktu. Karena sekali lagi, bahwa bahasa atau kata-kata hanyalah sebuah alat dari proses permainan penanda atau pemaknaan berkelanjutan. Tugas kita hanyalah memainkan permainan-permainan tersebut dengan baik sehingga nantinya hal tersebut dapat menjadi sesuatu yang tidak dapat merusak hubungan kita dalam berkomunikasi antarbudaya atau dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budayanya. Suatu kata muncul dengan berbagai cara. Makna yang lazim kita berikan pada kata-kata itu mungkin telah mengalami perubahan dalam rentan waktu yang sulit kita ukur. Etimologi memang bidang yang menarik, namun kita tidak memiliki metode yang andal untuk mengatahui asal-usul setiap kata yang kita gunakan dan perubahan, bentuk dan maknanya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi akan mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.
Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda pula. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal seperti yang telah diuraikan diatas. Perbedaan-perbedaan ekspektasi dalam komunikasi sekurang-kurangnya dapat menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan yang tidak nyaman atau kesalah pahaman. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Maka, kesalahpahaman-kesalahpahaman yang dapat menghambat proses komunikasi antarbudaya itu dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena, setiap orang mempuyai gagasan pribadi mengenai suatu konsep.
Kondisi emosional dan motivasional individu juga dapat mempengaruhi
makna yang ia berikan pada konsep tersebut. Kita tidak pernah yakin bahwa lawan bicara kita punya gagasan yang sama seperti gagasan kita. Kita dapat berusaha memahami gagasan pendengar kita dengan memperhatikan lawan bicara kita dengan memperhatikan reaksinya terhadap apa yang kita katakan dan mengenalnya lebih jauh, namun mungkin ita takkan pernah sepenuhnya memahami gagasannya tersebut.
KESIMPULAN
Oleh karena itu, bahasa yang sejak awal sudah disebut-sebut sebagai alat permainan penanda demi kelancaran proses hubungan komunikasi antarbudaya ini, sebaiknya digunakan secara benar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dari para pelakunya. Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa bahasa dapat mengandung arti yang majemuk. Maka dari itu meskipun bahasa-bahasa dapat dipelajari, kesalahan-kesalahan yang telah diuraikan dapat terjadi.
Perbendaharaan kata, tata bahasa, dan fasilitas verbal tidaklah memadai. Kecuali bila orang dapat memahami isyarat-isyarat halus yang implisit dalam bahasa, nada suara, gerak-gerik, dan ekspresi, ia tidak hanya akan menafsirkan secara salah apa yang dikatakan kepadanya, ia pun mungkin akan menyinggung perasaan orang lain tanpa mengetahui bagaimana atau mengapa hal itu bisa terjadi.
Untuk bangsa Indonesia sendiri pengajaran komunikasi antarbudaya adalah sangat penting untuk dilakukan, mengingat bangsa kita terdiri dari berbagai suku bangsa dan ras. Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi di kota-kota besar, pertemuan kita dengan mereka tidak terhindarkan. Di negara kita terdapat banyak subkultur : ras, suku bangsa, agama, latar belakang daerah (desa/kota), latar belakang pendidikan, dan sebagainya. Banyak orang Indonesia pergi ke daerah-daerah lain di wilayah Indonesia atau bahkan ke luar negeri untuk belajar, bisnis, atau bekerja. Demi kelancaran tugas mereka, penting bagi mereka untuk mengetahui asas-asas komunikasi antarbudaya terutama dalam penggunaan bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana Dedy. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi Dengan Orang
orang yang berbeda budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya,2003
Barker Chris. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2006
Liliweri Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset , 2004
Mulyana Dedy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005
Mulyana Deddy. Human Communication,konteks-konteks komunikasi.Bandung:PT
Remaja Rosdakarya,2005
Recent Comments