KONFLIK ANTARBUDAYA DAN UPAYA PENYELESAIANNYA
DARI PERSPEKTIF KAB
“Resolusi Konflik di Perbatasan Papua-PNG (Papua New Guinea)”
Pendahuluan
Budaya selalu menawarkan ketegangan-ketegangan tertentu dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya ketegangan ini semua manusia tidak akan mengalami kemajuan bahkan budaya yang telah dimilikinya dapat mundur. Dalam menghadapi tantangan alam manusia bersikap lain dengan hewan. Jika hewan memergoki sungai, ia bersikap ragu-ragu untuk kemudian berjalan kesana kemari untuk mencari tempat yang paling mudah untuk disebranginya. Adapun manusia meskipun mula-mula juga berbuat demikian, akhirnya membuat jembatan untuk dapat mengatasi halangan sungai itu. Budaya atau kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia dengan budhinya berupa segenap sumber jiwa, yakni cipta, rasa, karsa. Adapun kultur berasal dari kata Latin colere, yang berarti mengolah tanah, menggarap sesuatu, menanam, memelihara, menghuni, menghormati, menyucikan.
Corak budaya (tradisi, nilai sosial, dan moral) pada komunitas atau wilayah tertentu merupakan hasil dari perkumpulan orang-orang yang ada di dalamnya. Apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dihayati oleh orang-orang perkumpulan sosialnya merupakan harapan-harapan kolektif yang terekspresikan. Nuansanya tidak bisa dipisahkan dari konteks waktu dan tempat atau aspek fisik yang melingkupinya.
Manusia yang berakal sadar bahwa ia sebenarnya telah terlempar ke luar alam, sehingga ia menderita. Karena itulah ia mencari keamanan, dengan sarana teknik ia mendirikan bangunan, jembatan, kendaraan, dan sebagainya. Namun, dalam berbudaya manusia tidak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam tetapi mengubahnya dan mengembangkannya lebih lanjut. Dengan berbuat demikian itu terjadi jurang antara manusia dengan dirinya yang dialami. Hal tersebut juga menyebabkan adanya berbagai macam bentuk perbedaan latar belakang kebudayaan oleh tiap-tiap manusia. Banyaknya perbedaan latar kebudayaan yang dimiliki oleh manusia menyebabkan berbagai kesalahpahaman yang dapat memicu timbulnya konflik antar manusia atau antar budaya lebih tepatnya.
Perkembangan selanjutnya dari proses pendewasaan budaya, persoalan ekonomi, politik, agama dan ideologi menjadi fenomena yang mengalami penyempitan terbatas dalam budaya. Batas itupun harus secara jelas menunjuk pada asosiasi komunitas budaya tertentu, yang nantinya hanya merujuk kepada suku, ras, atau pun entitas yang identik terhadap keluhuran kelompok tertentu. Karenanya, atas dasar kenyataan itu, persoalan-persoalan konflik harus dihadapi oleh setiap manusia dalam lingkup kebudayaannya.
Konflik merupakan salah satu bentuk dari adanya bentuk ketersinggungan dari berbagai pihak. Ketersinggungan dapat berupa ketersinggungan agama, dan etnik. Ada banyak konflik antar budaya yang terjadi di dunia ini termasuk di Indonesia dan salah satunya adalah konflik yang terjadi di perbatasan Papua dan Papua New Guinea (PNG). Penduduk daerah perbatasan baik di Papua maupun PNG merupakan “satu keluarga besar”, yakni masuk rumpun ras Melansoid sehingga penduduknya memiliki banyak kesamaan yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, baik fisik, suku, bahasa, maupun budaya. Namun, dalam perjalanan sejarah mereka telah terpisah, oleh karena berlakunya konsep politik, berupa sebuah negara yang berbeda. Sementara itu, karena mereka masih melanggengkan hubungan kekerabatan etnis, maka muncul persoalan batas kultural yang berbeda dengan konsep batas negara. Karena itu banyak dijumpai kasus, batas kultural yang dimiliki oleh kekuasaan, suku, klan tertentu untuk lebih dihormati, dibandingkan dengan batas kekuasaan yang dimiliki oleh garis batas wilayah sebuah negara yang lainnya.
Pembahasan
Indonesia, khususnya propinsi Papua memiliki daerah perbatasan dengan Negara PNG. Perbatasan adalah suatu zone atau suatu garis yang sering menjadi ajang timbulnya konflik. Daerah perbatasan merupakan tempat pelintas batas penduduk, barang dan berbagai informasi. Konflik terjadi karena perbedaan pandangan dan kepentingan yang menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik dan ketahanan atau keamanan. Masalah perbatasan jarang dapat diselesaikan yang dapat memuaskan ke dua belah pihak dan biasanya akan timbul masalah lain. Penyelesaian masalah perbatasan bahkan terjadi “kesepakatan untuk tidak sepakat” terhadap suatu masalah. Walaupun penduduk asli Papua dan penduduk asli PNG hidup dalam satu pulau dan kesamaan etnik sebagai orang Melansia, namun mereka hidup dalam Negara yang berbeda.
Propinsi Irian Jaya yang sekarang disebut Papua terletak pada kawasan paling timur dari negara Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara Papua New Guinea (PNG). Wilayah perbatasan darat Indonesia – PNG tersebut memanjang dari utara ke selatan memotong tengah pulau Papua sepanjang hampir 800 km. Wilayah perbatasan secara umum letaknya terisolir dari konsep tata ruang nasional. Perbatasan tidak begitu saja terjadi, ada sejumlah perjanjian dan persetujuan antar negara mengenai peraturan-peraturan perbatasan.
Persetujuan dasar tersebut dibuat sebagai titik tolak untuk menentukan kerjasama atas kemauan baik dan saling pengertian antara Indonesia dengan PNG. Kerjasama yang dikembangkan lebih lanjut adalah tentang administrasi dan pembangunan daerah perbatasan guna memperoleh manfaat untuk penduduk. Hal ini didasarkan bahwa penduduk perbatasan setempat telah mempunyai kebiasaan dan hak-hak tradisional sejak tempo dulu.
Dari persetujuan tersebut kemudian diperoleh kesepakatan berupa baik indonesia maupun PNG akan mengakui dan mengijinkan adanya pelintas batas oleh penduduk tradisional dan penduduk perbatasan. Dalam pengartian penduduk perbatasan adalah mereka yang karena kelahiran atau perkawinan tinggal di daerah perbatasan. Dengan pengertian ini penduduk bukan orang Papua seperti Jawa yang kawin dengan orang Papua diperbatasan dan berdomisili di daera perbatasan dapat masuk sebagai pelintas batas tradisional. Perizinan diberikan hanya untuk tujuan kegiatan di daerah perbatasan seperti kontak social, upacara-upacara, pemanfaatan lahan (termasuk memancing), kebiasaan berdagang, olah raga dan kegiatan-kegiatan budaya. Dengan demikian izin tersebut hanya untuk kunjungan sementara dan bukan untuk keperluan menetap. Lama kunjungan maksimal 30 hari dan dapat diperpanjang atas persetujuan pejabat perbatasan. Selain itu pelintas batas tradisional juga harus tunduk pada undang-undang dan peraturan karantina dan larangan lain yang masih berlaku.
Untuk maksud pelintas batas tersebut diatas tidak diperlukan pengaturan khusus (imigrasi, pabean, karantina dan pemeriksaan kesehatan) . pengaturan khusus hanya berlaku bagi penduduk yang non tradisional. Pelintas batas tradisional cukup dilengkapi kartu identifikasi lintas batas yang untuk wilayah perbatasan Papua lebih dikenal dengan ”kartu merah”. Kartu lintas batas berlaku untuk masuk berkali-kali selama jangka waktu 3 tahun. Penerbitan kembali kartu perbatasan dibuat oleh pos perbatasan yang sama. Degan demikian kartu pelintas batas tersebut berlaku sebagai pengganti pasport, visa, dan kartu vaksinasi. Kartu merah hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang tinggal di perbatasan dan telah mencapai umur 18 tahun. Apabila mereka pergi secara berombongan diperlukan persyaratan surat keterangan dari desa yang diketahui oleh kantor imigrasi setempat. Sebuah kartu lintas batas langsung mencakup istri dan anak yang berumur dibawah 18 tahun. Hal ini termasuk mereka yang telah kawin walaupun belum berumur 18 tahun.
Untuk menjaga keamanan perlu dicegah pemanfaatan daerah perbatasan untuk setiap bentuk permusuhan atau kegiatan tidak legal yang menentang negara tetangga. Di daerah perbatasan juga dicegah pemanfaatan untuk pengintaian (staging) dan tempat berlindung. Pembangunan konstruksi besar dalam zone 5 kilometer (misalnya jalan, dan jembatan) dapat menarik penduduk dari daerah perbatasan negara lain. Karena itu setiap rencana pembangunan besar tersebut perlu memberitahu lebih dahulu kepada negara tetangga.
Sumberdaya alam daerah perbatasan dapat dimanfaatkan namun perlu memperhatikan asas pelestarian. Pemerintah harus dapat menjamin bahwa pembangunan pertambangan, industri, kehutanan, pertanian, dan pembangunan lainnya, tidak akan menimbulkan polusi negara tetangga. Karena itu upaya pembangunan di daerah perbatasan perlu berkonsultasi terlebih dahulu. Selain itu kedua negara perlu melindungi spesies flora dan fauna setempat agar tidak terjadi kepunahan di daerah perbatasan. Setiap kerusakan akibat dari tindakan negara lain di daerah perbatasan maka negara yang bertanggung jawab akan membayar sebagai kompensasi.
Masyarakat Papua terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai ciri-ciri budaya, bahasa, dan gaya hidup yang tidak sama antara satu kelompok dengan kelompok lain. Keanekaragaman ini membuat orang luar sulit untuk dapat memahami masyarakat Papua sebagai satu kesatuan yang berlaku umum pada masyarakat Papua. Karena itu, dalam studi yang berkaitan dengan masyarakat Papua di perbatasan dirasa perlu untuk memahami kehidupan sosio-budaya yang mengandung pemikiran masyarakat yang ada di dalamnya untuk melangkah ke permasalahan lebih dalam.
Permasalahan sosial-budaya di wilayah perbatasan Jayapura dapat dilihat dari beberapa pemahaman budaya masyarakat pendukungnya, seperti pemahaman tentang konsep batas wilayah; bahasa yang sama; adanya mitologi yang sama sehingga menimbulkan orientasi religi yang sama; hubungan kekerabatan yang telah terbina sebelum konsep negara modern lahir; hubungan perkawinan antar suku melalui pertukaran saudara dalam lingkaran kerabat tertentu yang dikenal dengan tukar kepala; dan hubungan dalam pengelolaan harta adat.
Tampaknya konflik nilai dan aturan berpadu sedemikian rupa, sehingga berbagai konflik yang mucul bersifat sangat kompleks dan tidak dapat dipisahkan dengan tegas. Salah satunya adalah konflik pertahanan yang semakin meningkat di Papua belakangan ini. Tampaknya bukan semata-mata persoalan yuridis, melainkan di dalamnya ada nuansa sosial budaya, ekonomi dan politis. Problema pertahanan ini ditambah pula dengna semakin gancarnya program pembangunan fisik yang dijalankan di Papua, yang jelas-jelas membutuhkan lahan, sementara masalah juridis maupun sosial budaya masih mengganjal dalam proses penyelesaiannya.
Papua dikenal mempunyai keanekaragaman suku bangsa yang demikian banyak. Khususnya apabila diklasifikasi tersebut berdasarkan atas pembagian bahasa, mengingat ada beberapa suku bangsa yang belum teridentifikasi dengan baik struktur bahasanya. Sehingga dianggap sebagai suku bangsa tersendiri. Demikian pula dengan pembagian berdasarkan antropologi fisik, baik menggunakan index chepal (rahang), maupun mengenai ukuran antropometris, mengungkapkan ciri-ciri yang beraneka ragam dari masyarakat suku Papua.
Masyarakat dengan berbagai tipe ekologis seperti ini, tentunya mempuyai implikasi yang luas terhadap kemungkinan terjadinya konflik budaya, sebagai akibat dari tergusurnya sumberdaya masing-masing tipe. Seperti pembangunan kawasan wisata yang mengambil lahan di daerah pantai, sangat potensial untuk menciptakan kerawanan dengan masyarakat setempat yang amat tergantung dengan hasil laut. Demikian halnya berbagai eksploitasi hutan, akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang ada di kawasan hutan, maupun yang ada di hilir sungai.
Namun demikian, secara umum dari segi sistem kekerabatan dan orgaisasi sosial masyarakat Papua, khususnya di daerah perbatasan adalah masih kuatnya menganut sistem keluarga luas dan masih adanya pengaruh sistem kepemimpinan tradisional yang nantiya akan sangat kental mempengaruhi sistem kepemilikan tanah secara komunal. Oleh sebab itu, studi mengenai berbagai masalah yang ada kaitannya dengan sistem tradisional, pada intinya tidak terlepas dari masalah kekerabatan dan sistem kepemimpinan tradisional.
Masalah kebudayaan di propinsi Papua pada beberapa segi mempunyai kesamaan dengan daerah lain, khususnya eksistensi masyarakat adat yang hidup di berbagai daerah di propinsi ini. Namun, ada pula segi-segi tertentu yang mungkin bersifat khas, dikarenakanadanya pengalaman sejarah yang berbeda, maupun berbagai situasi sosial budaya, ekonomi dan politik yang melingkupinya.
Intra suku adalah berbagai konflik budaya yang muncul dalam suatu komunitas suku yang mendiami wilayah tertentu, biasanya terjadi antar keluarga inti, atau antar klen-klen kecil dalam suatu lingkungan suku tertentu. Sedangkan konflik antar suku, dapat terjadi antara komunitas suku satu dengan suku lainnya yang biasaya juga terjadi karena sejarah perang suku pada masa lalu. Konflik masyarakat suku melawan pendatang perorangan biasanya terjadi karena jual beli tanah. Masyarakat suku melawan perusahaan, dimaksudkan semua konflik yang berkaitan dengan kelompok usaha ekonomi, baik skala kecil maupun mega (seperti kasus Freeport). Sedangkan masyarakat suku berhadapan dengan Pemda dan TNI memfasilitasi pelepasan hak atas tanah kepada pihak tertentu di luar masyarakat suku tersebut.
Masalah yang cukup umum di wilayah perbatasan khususnya dan di Papua umumnya adalah proses sertifikasi tanah yang terjadi diantara masyarakat asli dengan kalangan pendatang, khususnya untuk keperluan transmigrasi. Terdapat kesan sementara bahwa masyarakat asli sulit mendapatkan sertifikat, sedangkan kalangan transmigran lebih mudah mendapatkannya. Masalah ini tampaknya sangat terkait dengan persoalan hukum tanah secara nasional, yang kenyataanya masih manimbulkan interpretasi yang berbeda dari kalangan masyarakat adat terhadap hukum itu sendiri.
Ada beberapa penyebab struktural lainnya yang tampaknya menjadi pemicu konflik budaya di Papua umumnya, dan di daerah perbatasan khususnya, yaitu: kelekatan filosofis mengenai makna tanah bagi masyarakat di pedalaman seringkali diabaikan. Seringkali ungkapan tanah sebagai ibu kandung, tanah mempunyai kaitan dengan kehidupan budaya lain, danggap sebagai hal yang romantik dan tanpa makna. Padahal seringkali mereka menganggapbahwa terlepasnya tanah dari hak mereka, akan mengakibatkan huru-hara dan kekacauan, mengingat mereka harus melepaskan ’air susu yang selama ini memberi kehidupan’. Namun lembaga jual beli yang belakangan ini marak, cukup memberi pengaruh yang besar. Padahal masyarakat awalnya hanya mengenal hibah dan hak pakai, sekarang berada pada posisi kehilangan hak. Lembaga jual beli merupakan representasi dari modernisasi yang menuntut lahan namun belum diantisipasi baik di daerah maupun pusat, sehingga timbul semacam chaos dalam adat dan kebudayaan dalam arti luas; ditambah lagi ekses yang merasuk dari segi kepentigan ekonomi, yang menyebabkan pengingkaran maupun manipulasi kultural. Eksesnya adalah tanah mudah terlepas, namun lembaga-lembaga lainnya belum siap, sehingga begitu ada masalah seringkali penututan perkara kepadad pembeli dan bukan kepada peimpin adat atau formal (aparat) yang mempunyai andil besar dari terlepasnya tanah komunal.
Daerah di kawasan perbatasan tersebut tentu saja memiliki penampilan khas individunya baik berupa perkataan, perbuatan, pakaian, gaya hidup, pilihan profesi, pilihan agama, maupun pilihan pergaulan, sering kali dipotret sebagai memiliki label tertentu dalam relasi sosial. Label-label itu seringkali juga dikaitkan dengan posisi individu sebagai bagian dari anggota salah satu masyarakat tertentu. hal-hal tersebut tentu saja dapat dengan sangat mudah menyebabkan konflik dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat disana dan salah satunya adalah konflik kebudayaan atau antaretnik yang telah dibahas sebelumnya.
Terdapat banyak pilihan untuk mencegah konflik antaretnik dan budaya. Sebab konflik antarbudaya lebih bersifat laten (tersembunyi) dari pada sebaliknya. Upaya konkret yang dapat dilakukan adalah melalui jalan mengelola konfliknya. Atau, mengatur konflik agar tidak berubah bentuk menjadi tindak kekerasan.
Upaya pencegahan yang efektif adalah melakukan berbagai cara, yakni advokasi atau gerakan yang bisa mereduksi potensi-potensi konflik dalam kehidupan masyarakat. Caranya adalah mendampingi kelompok-kelompok atau kantong-kantong masyarakat yag rentan terhadap konflik. Gerakan itu harus dilakukan secara terus menerus. Fokusnya, mereduksi persoalan konkret yang melilit kehidupan mereka, misalnya ekonomi dan pendidikan. Selain itu, gerakan pemberdayaan terhadap kualitas pemahaman agama dan wawasan kebagsaan mutlak di perlukan.
Kusutnya aturan berkait denga keberadaan kelompok budaya dan organisasi-organisasi sosial keagamaan, bercampurnya kepentingan ekonomi dan politik ke dalam wilayah ini, serta luka sejarah yang terlanjur mengkristal, juga perlu di selesaikan. Namun, beragam bentuk dan upaya penyelesaian itu tidak bisa dinikmati secara cepat (instan), memerlukan waktu lama.
Kesulitan semacam itu tidak hanya monopoli pengalaman Indonesia, namun juga dialami oleh sejumlah negara di berbagai belahan bumi ini. Oleh karena itu, kendatipun upaya ini tidak akan dapat membuahkan hasil secara cepat dan segera serta memerlukan waktu yang cukup lama, bahkan mungkin melampaui generasi ini, namun usaha ini mutlak diperlukan.
Kesimpulan
Sulit sekali mengatakan ada atau tidaknya konflik antarbudaya di Indonesia. kesulitan ini didukung oleh fakta bahwa peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia melibatkan komunitas suatu kelompok tertentu berasal dari masalah kebudayaan. Contohnya adalah konflik yang terjadi di daerah perbatasan Papua-PNG.
Persoalan menjadi semakin rumit ketika pergulatan kepentingan salah satu pihak melibatkan banyak orang yang berasal dari kalangan bawah, uneducated people. Kelompok ini tidak mampu berpikir rasional, namun siap mengorbankan harta benda bahkan nyawanya dengna bekal keyakinan yang bersahaja dan sedikit kata-kata berbau kebudayaan dibibirnya, mereka siap mendukung gerakan secara membabi buta terhadap sesuatu yang diidolakannya itu.
Kondisi semacam itu semakin parah ketika sikap tersebut terwariskan secara sistematis kepada generasi selanjutnya. Oleh karena itu, sebagai generasi yang mewarisi kebudayaan nenek moyang sebaiknya kita berfikir lebih terbuka terhadap apa yang telah diwariskan kepada kita tersebut. Alangkah baiknya apabila kita menghindari berbagai bentuk kegiatan yang dapat memicu timbulnya konflik apapun jenisnya, agar konflik-konflik antar budaya tidak akan terjadi kembali di negara kita ini, dan hal tersebut hanya dapat menjadi sebuah sejarah yang menyedihkan untuk diceritakan kepada generasi selanjutnya di bawah kita nanti.
Daftar Pustaka
Jamuin, Ma’arif, 2004, Manual Advokasi Resolusi Konflik, Surakarta: CISCORE
Indonesia
Strinati, Dominic, 2007, Popular Culture, Yogyakarta: JEJAK
Widagdho, Djoko, 2001, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi Aksara
Recent Comments